Hampir beberapa waktu saya masih berusaha untuk tidak berkomentar tentang fenomena yang saya amati hampir setahun ini terjadi. Ditengah trend penggunaan media sosial oleh masyarakat. Dan media sosial yang saya benar-benar amati adalah Facebook. Ya, media sosial yang saya dan Anda pergunakan sekarang ini.
Awalnya masih tahan untuk tidak berkomentar, karena ada rasa kesal, kecewa namun sedikit menggelitik akhirnya saya memutuskan untuk berkomentar melalui tulisan singkat. Sebuah pandangan saya terhadap fenomena yang sampai saat ini masih terus saja terjadi. Entah sampai kapan fenomena ini akan berakhir. Tapi disisi lain kalau itu berakhir maka tidak akan hal yang menarik lagi yang akan diamati. Jadi, kalau Anda diposisi saya harus memilih yang mana? Hehehe…
Lantas fenomena apakah yang saya maksud barusan? Begini, mungkin selama ini Saya dan Anda amati dimana hampir seringnya beberapa pengguna media sosial Facebook membagikan tautan atau share link dari situs tertentu. Bisa dari media online atau tulisan seseorang di blog. Dan frekuensi itu makin lama makin sering jika di Indonesia terjadi kasus atau peristiwa yang menarik perhatian masyarakat luas.
Yang menarik dari fenomena itu bahwa pengguna Facebook share link ada juga yang bersumber dari media online, yang menurut saya tidak jelas media. Maksud saya, dari nama media nya tidak dikenal dan tidak familiar. Termasuk juga ketika sumber media tersebut menulis headline dengan kalimat yang bombastis, sangat menarik dan bahkan tendesius yang akhirnya mengarah untuk menilai salah atau jelek pihak tertentu.
Sayangnya, banyak yang membagikan berita atau informasi seperti itu.
Saya pun bertanya-tanya, apakah mereka sudah membaca penuh berita tersebut? Apakah tujuan mereka membagikan berita tersebut? Atau Dengan membagikan berita tersebut ingin membentuk sebuah opini tertentu sesuai dengan apa yang diinginkan pembagi berita tersebut? Tentu menjadi sangat menarik ketika pertanyaan-pertanyaan itu sudah terjawab. Kalau pun tidak terjawab atau tidak mau menjawab juga akhirnya menjadi sebuah jawaban pula.
Setidaknya, yang saya amati ada dua tema berita yang sering dibagikan oleh pengguna Facebook. Tema itu tentang agama dan politik. Politik disini juga termasuk berita-berita tentang kinerja Presiden beserta kabinetnya juga para anggota Legislatif. Jika sudah membahas dua tema itu pastilah banyak yang berkomentar dengan berbagai macam pandangan. Baik yang pro atau yang kontra dengan tema berita itu. Mana yang benar? Saya tidak bisa menentukan, apalagi Anda. Karena itu hanyalah persepsi atau pandangan pribadi saja. Dan itu bukanlah sebuah kebenaran yang sesungguhnya. Jikalau benar, itu benar menurut mereka saja.
Fenomena yang terjadi sekarang ini membuat saya membayangkan mundur kembali di pertengahan 2008, dimana saya masih menjadi mahasiswa tingkat akhir di sebuah universitas swasta di Jakarta. Saat itu saya kuliah mengambil fakultas ilmu komunikasi dengan konsentrasi Jurnalistik. Kenapa saya saat itu mengambil konsentrasi Jurnalistik? Karena di awal kuliah saya ingin menjadi wartawan. Dan keinginan itu sempat tercapai walau hanya beberapa waktu saja. Setidaknya saya pernah merasakan dimana apa yang saya inginkan menjadi kenyataan.
Di masa akhir kuliah, saya dihadapkan untuk membuat skripsi sebagai syarat kelulusan menjadi sarjana. Karena saya mengambil konsentrasi Jurnalistik mengharuskan mengambil tema skripsi tentang analisis media massa. Alasannya, karena kegiatan Jurnalistik itu dilakukan oleh media massa dan wartawan sebagai pekerja media massa. Sehingga tema pembahasan skripsinya bagaimana media massa dan wartawan bekerja untuk menghasilkan produk Jurnalistik.
Proses pencarian saya ketika itu akhirnya tertuju pada analisis Framing sebagai metode penelitian skripsi saya. Alasannya, saya ingin melihat bagaimana sebuah media memberitakan sebuah peristiwa dalam bentuk berita. Apakah ada keberpihakan atau tidak. Itu yang menjadi kata kunci dari analisis Framing.
Secara singkatnya, analisis Framing itu membahas bagaimana sebuah media massa melihat sebuah peristiwa dan memberitakannya kepada khalayak. Karena, setiap media massa punya ideologi atau cara pandang berbeda terhadap sebuah masalah. Misalnya, antara media massa A dan B punya gaya pemberitaan dan sikap yang berbeda terhadap masalah. Jika sudah begitu, praktis media massa harus ada keberpihakan. Kalau ada yang mengatakan media massa harus netral, itu pandangan lama yang sudah kadaluarsa.
“World outside and pictures in our heads,” kata Water Lippman. Selain media massa harus berpihak, media massa juga membentuk opini atau realitas ke kepala khalayak, termasuk Anda. Tentunya realitas itu sudah dikonstruksi alias dimaknai atau ditambahkan ideologi atau pandangan dari media massa. Jika sudah seperti ini sangat mudah mengarahkan pemikiran dan tindakan khalayak hanya dengan opini di media massa. Saya sebut opini, seperti yang saya jelaskan sebelumnya, media massa tidak lagi memberikan realitas sesuai fakta tapi sudah dibumbui dengan persepsi dan interpretasi dari media massa.
Lalu bagaimana melihat keberpihakan media massa terhadap suatu masalah? Anda bisa lihat dari pemilihan head line atau judul berita, pola kalimat atau diksi kata yang dipilih, pemilihan narasumber serta pemilihan foto atau gambar. Jika sudah begini, akhirnya ada penonjolan aspek tertentu yang ingin disampaikan media massa. Dan pastinya, ada penonjolan aspek tertentu maka aspek lain yang terkait dengan peristiwa tidak akan ditampilkan atau diberitakan.
Terkait dengan itu, mengutip dari perkataan Peter L. Berger, seorang sosiolog, bahwa realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tapi tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Namun realitas dibentuk dan dikonstruksi. Atas dasar itu lah bahwa realitas terbentuk dan termakna karena peran dari media massa, dan sekali lagi realitas itu bukan fakta sesungguhnya, apalagi sebuah kebenaran.
Framing sendiri mempunyai empat model analisis berdasarkan nama penemu modelnya, yakni model Robert Eantman, William Gamson, Murray Edelman serta Zhondang Pan dan Kosicki. Saya pun memilih model analisis dari Zhondang Pan dan Kosicki. Bukan sebuah kebetulan saya memilih model analisa tersebut. Karena menurut mereka, Framing disebut sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol dan menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan informasi.
Bahkan mereka pun melihat Framing dari dua sisi. Sisi psikologis dan sosiologis. Dari sisi psikologis, lebih menekankan bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya, atau berkaitan dengan struktur dan proses kognitif seseorang dalam mengolah sejumlah informasi dan ditunjukkan dalam skema tertentu. Sisi sosiologisnya, melihat pada proses internal seseorang, bagaimana individu secara kognitif menafsirkan suatu peristiwa dalam cara pandang tertentu, maka pandangan sosiologis lebih melihat konstruksi sosial atas realitas.
Akhirnya, dari penjelasan kedua sisi itu bisa dikatakan Framing dipahami sebagai proses bagaimana seseorang mengklasifikasikan, mengorganisasikan, dan menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas luar dirinya. Framing di sini berfungsi membuat suatu realitas menjadi teridentifikasi karena sudah ditandai dengan label tertentu. Pada prakteknya, media massa akan melakukan proses labelisasi pada individu, kelompok atau realitas sesuai dengan cara pandang media massa. Kalau istilah saya, media massa bisa membuat orang kotor menjadi suci dan orang suci menjadi kotor.
Kembali ke skripsi saya, setelah mengamati beberapa peristiwa di pertengahan tahun 2008, saya tertarik dengan pemberitaan soal buku karangan Menteri Kesehatan RI, yang waktu itu dijabat oleh Siti Fadilah Supari. Buku nya berjudul “Saatnya dunia berubah: tangan Tuhan melalui virus flu burung”. Yang saya amati terjadi pro kontra saat buku itu terbit. Kenapa bisa begitu? Karena di buku itu Siti Fadilah menguak kecurangan yang dilakukan oleh WHO dalam proses pengambilan sampel virus flu burung.
Bentuk kecurangannya, menurut Siti Fadilah, ketika WHO dengan mudah mengambil sampel virus dengan gratis, secara diam-diam sampel virus diberikan kepada produsen obat besar, yang kemudian dari sampel virus dibuat obat dan dijual ke negara endemik flu burung dengan harga mahal.
Menariknya peristiwa itu membuat saya melakukan penelitian dengan melihat pemberitaan tentang terbitnya buku Siti Fadilah dari sebuah majalah bernama Forum Keadilan. Hasilnya, majalah Forum Keadilan, seperti penuturan Asep Iskandar sebagai Redaktur Pelaksana ketika itu bahwa Forum Keadilan sangat mendukung tindakan Siti Fadilah yang mencerminkan keberpihakan pada rakyat Indonesia. Saat itu banyak masyarakat Indonesia terkena virus flu burung dan beberapa diantara meninggal dunia.
Proses analisis yang saya lakukan ketika itu, mengumpulkan semua berita tentang terbitnya buku Siti Fadilah dan kemudian saya analisa dengan model Framing Zhondang Pan dan Kosicki. Setelah saya mendapat kesimpulan dari apa yang saya teliti, saya bandingkan hasil penelitian saya dengan melakukan wawancara ke pihak media yang memberitakan peristiwa tersebut. Hasilnya memang tidak jauh berbeda dengan apa yang saya analisa.
Balik lagi ke apa terjadi sekarang, bahwa saat ini arus informasi mengalir sangat cepat. Hal itu didukung oleh kecanggihan teknologi dan mudahnya mengakses informasi. Media sosial juga menjadi salah satu wadah untuk menyebarkan informasi dan mengaksesnya. Yang menjadi pertanyaan, apakah Anda sudah memaknai dan memfilter informasi yang Anda terima? Maksudnya tidak langsung percaya alias dianalisa dan diteliti struktur informasi atau beritanya. Seperti yang saya bilang sebelumnya, realitas dari pemberitaan media massa bukan lagi berdasarkan fakta atau kebenaran, tapi realitas yang sudah tercampur sikap, cara pandang serta cara berpikir para pekerja media massanya.
Mungkin apa yang saya katakan barusan terdengar ribet atau berpikir, “buat apa sih dianalisa berita. Bikin pusing aja!” Itu sekali lagi pilihan yang Anda bisa tentukan sendiri. Mau langsung percaya dengan berita yang ada sekarang atau tidak? Karena ada baiknya Anda menseleksi dan memilah-milah mana berita yang memang sesuai fakta atau tidak. Hal itu dilakukan supaya Anda tidak mudah terkena opini yang memang sengaja diciptakan oleh media tersebut.
Ketika opini sudah terbentuk dalam kepala Anda, maka Anda akan bertindak dan berpikir sesuai keinginan media massa.Dalam teori Jurnalistik disebut sebagai teori agenda setting, apa yang penting menurut media harus penting menurut khalayak. Opini itu bisa berubah hal positif dan negatif. Tapi apakah itu positif atau negatif, hanya Anda yang bisa menentukannya.